Yuk Belajar dari Bu mus!
Bulan September 2008 yang lalu menjadi bulan yang berkah bagi perfilman di Indonesia. Bioskop-bioskop di tanah air begitu berjubel dengan antrian para calon penonton. Dari antrian ini terlihat jelas beraneka ragam usia penonton film ini, mulai anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua .Yang sangat membanggakan film yang begitu diburu masyarakat adalah film buatan anak negeri. Ternyata film yang diburu penonton pada waktu itu adalah film “Laskar Pelangi”, sebuah film yang diangkat dari novel karya Andrea Herata.
Pertanyaan yang muncul di benak penulis adalah mengapa film itu begitu digandrungi masyarakat waktu itu? Apa karena novelnya begitu best seller sebelumnya?, apa film ini memang menghadirkan teknologi perfilman yang begitu mutakhir? Dari rasa penasaran, penulis akhirnya datang ke gedung bioskop ikut berdesakan menyaksikan film ini.
Setelah film diputar, satu-persatu adegan dalam film penulis nikmati, dengan berbagai rasa yang singgah di hati, kekaguman dan tidak sedikit rasa haru. Meninggalnya Pak Harpa di kantor kepala sekolah memaksa air mata penulis mengalir dengan sendirinya, padahal sebenarnya malu juga kalau ketahuan. Untungnya tempat duduk sebelah penulis sang istri yang ternyata meneteskan air mata juga. Jadi ya... sama-sama malu hee...
Di akhir-akhir ceritapun air mata penulis tak terbendung lagi ketika si Jenius Lintang tidak ke sekolah lagi setelah memenangkan lomba cerdas-cermat. Ternyata si Lintang ditinggal pergi sang ayah untuk selamanya, dan akhirnya Lintanglah yang menggantikan peran sang ayah. Adegan demi adegan dalam film ini kadang membuat penulis merasa seakan-akan Tuhan tidak adil, tapi melalui renungan memang inilah pendidikan yang paling hakiki yang diberikan Tuhan.
Dari catatan pribadi Ikal ini sebenarnya ada seorang tokoh sentral yang harus kita tauladani. Tokoh ini bernama ibu Muslimah. Ibu Muslimah seorang sosok guru yang sederhana, dengan penghasilan yang pas-pasan, beliau begitu gigih dalam menjalankan tugasnya sebagai guru. Barang kali metode CTL belum ia baca teorinya tetapi beliau sudah mampu mengaplikasikan sari dari model ini. Dengan kesabaranya beliau mampu mengoptimalkan keragaman siswanya dalam mencapai tujuan pendidikan yang sejati. Sarana sekolah yang begitu minim tidak membuat sang guru surut untuk berkreasi, malah beliau mampu menerapkan prinsip”alamtakambang” di mana alam sekitar mampu beliau optimalkan dalam mendidik siswanya. Dengan hati beliau juga mendidik siswanya yang mempunyai kemampuan yang sangat beragam. Tidak hanya siswanya yang berkemampuan kognitifnya tinggi yang beliau perhatikan, bahkan siswa dengan kemampuan yang di bawah normalpun (Harun,red) beliau didik dengan senang hati.
Orang tua yang menonton film ini barang kali tidak ada yang menolak bila bu Muslimah-bu Muslimah di negeri ini menjadi guru putra-putrinya. Karena sosok bu Mus merupakan sosok guru yang humanis, yaitu guru yang memanusiakan siswanya. Dalam mendidik siswanya bu Mus tidak ada kata-kata Jangan, kalian bodoh, diam, dasar nakal, dan lain-lain. Bu Mus sudah menerapkan konsep pembelajaran yang menyenangkan dan membebaskan dengan versi beliau. Dan tak salah bila pak SBY memanggil beliau ke istana untuk menerima penghargaan guru teladan.
Penulispun merasa malu terhadap bu Mus, meskipun penulis sudah mendapatkan berbagai pelatihan maupun training mengenai model-model pembelajaran, tapi belum mampu untuk mengaplikasikan ilmu ini dalam pembelajaran. Bagi penulis bu Mus menjadi inspirasi dalam mendidik siswa. Dengan belajar dari bu Mus penulis sadar bahwa pembelajaran yang mendidik dan membebaskan bukan hanya teori belaka. Pelaksanaan teori-teori pendidikan di lapangan sangat dinantikan oleh jutaaan orang tua siswa. Kesuksesan seorang guru sejatinya adalah bila kehadiran beliau di sekolah begitu ditunggu-tunggu oleh siswanya. Siswa merasa terayomi oleh sang guru, tidak ada rasa takut, dan siswa menganggap guru adalah sosok pengantar sang siswa menuju masa depannya.
Pesan buat teman-teman guru, mari kita ciptakan pembelajaran di sekolah yang menyenangkan, dengan menghindari intimidasi kepada siswa. Dengan hati mari kita hantarkan siswa-siswa kita dalam mencapai kompetensi dasar yang dibutuhkan dengan kecepatan masing-masing. Tidak lagi menyamakan siswa yang lambat dengan siswa yang cepat dalam mencapai kompetensi. Dengan mengkondisikan seperti ini pendidikan kita akan bermakna yang akan menghasilkan siswa-siswa yang humanis.
Impian saya, kapan yayasan kita akan melaksanakan pembelajaran yang berbasis kemampuan masing-masing anak. Hingga tak ada lagi rasa kecewa di akhir tahun karena ketidaknaikan. Tidak ada lagi guru yang memaksakan KKM kepada siswa yang memang kemampuannya pas-pasan, siswa yang pintarpun merasa terlayani dengan maksimal. Yang ada dalam pembelajaran adalah serba menyenangkan, siswa senang, guru senang, orang tua senang. Selamat datang pembelajaran yang menyenangkan di Yayasan Pupuk Kaltim tercinta......kapan?
Cak Pri Feb 09